Sewaktu Ayah
Masih Ada
“
Kampung Halaman “
Namaku
Diki Ramdani, tapi lebih sering dikenal Diki Irdan, nama siaran ku disebuah
program radio yang dulu pernah aku pegang sewaktu kelas 2 SMK. Aku anak keempat
dari empat bersaudara. Ibuku bernama Iis Iskandar, seorang ibu rumah tangga
yang sampai saat ini masih sangat semangat berjuang memperjuangkan pendidikan
anaknya hingga bangku kuliah tanpa ditemani kehadiran seorang suami. Ya, Ayahku
sudah meninggal sejak lama, sudah sepuluh tahun aku, ibu dan kakak-kakak ku
hidup tanpa seorang Ayah. Saat ini aku
berkuliah di Politeknik LP3I Bandung dengan jurusan Public Relations atau yang lebih sering dikenal Hubungan
Masyarakat dan tepatnya, senin tanggal 17 Februari 2014 nanti aku mulai
menginjak semester keempat. Rasanya rasa syukur ini tidak pernah bisa aku
hentikan. Bagaimana bisa ibuku mengkuliahkan ku tanpa bantuan sosok dermawan,
beliau adalah Ibu Iman, majikan ibuku yang tinggal di kompleks TNI AU Lanud
Husein Sastranegara Bandung.
Banyak
orang yang bilang, jangan terlalu sering mengingat masa lalu, lihatlah kearah
depan ! Ah, aku tidak peduli dengan itu, yang aku tahu, aku juga punya Ayah
seperti kalian, bedanya hanya satu, Ayahku sudah pergi, pergi dan tidak mungkin
kembali. Tapi apa salahnya jika aku ingin mengenang sosok Ayah yang pernah
sebentar saja hadir dikehidupanku. Nama Almarhum Ayahku adalah Didin Shafrudin,
almarhum lahir di Kota Sumedang, sementara ibuku sendiri asli orang Bandung.
Sedikit yang bisa kuingat, sebagai kepala keluarga, dulu Ayahku bekerja hanya
sebagai sopir taksi, dan juga sopir pribadi untuk sebuah rental mobil dikawasan
Jl. Kepatihan Bandung. Walaupun bukan mobil miliknya, tetapi Ayah selalu
menyempatkan waktu luangnya untuk sekedar mengajak ku dan keluarga jalan-jalan
menggunakan mobil milik bos. Sering sekali dulu, sewaktu aku masih duduk di
bangku sd aku diajaknya makan ke beberapa tempat di Kota Bandung. Tetapi bukan
itu yang paling berkesan melainkan kunjungan kami sekeluarga ke kampung halaman
Ayahku di Desa Sukatali, Kota Sumedang. Jujur, dari kecil aku adalah tipikal
anak yang sangat menyukai pemandangan disetiap perjalanan. Semuanya hijau,
penuh dengan bukit dan pepohonan. Bisa aku ingat saat kami sekeluarga berangkat
dari Bandung menuju Sumedang menggunakan mobil milik bos Ayahku. Rasanya
bahagia sekali saat itu. Sepanjang perjalanan, aku selalu banyak bertanya pada
Ibuku tentang apa saja yang aku lihat diperjalanan. Ibuku tidak pernah lelah
untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang aku lontarkan sekalipun itu
menjengkelkan. Sesekali Ayahku yang sedang mengemudi membantu Ibuku menjawab
pertanyaan yang ditanyakan olehku. Betapa indahnya suasana itu, bahkan aku
masih bisa mengingat senyuman-senyuman yang ada diwajah ibu, ayah dan
kakak-kakak ku kala itu.
Sesampainya
di Sumedang, kami disambut riang oeh keluarga disana, ada nenekku yang bernama
Nana, sering kupanggil beliau dengan sebutan Ma’ Nana, sementara kakeku
bernama Eron, aku selalu panggil almarhum dengan sebutan Abah Eron, ada juga
Paman Dana dan Bibi Acah, ada juga Ibu Iyok yang masih saudaraku juga, lucunya,
Ibu Iyok badanya sangat gemuk dan suka bercanda dengan celotehanya yang selalu
membuat kami semua tertawa. Rumah keluarga ayahku di Sumedang tidaklah mewah,
cukup sederhana dan bisa menampung kami keluarga besar untuk berkumpul bersama.
Menjelang pagi, suasana kampung halamanku tentu sangat jauh berbeda dengan
suasana rumahku di Bandung. Begitu bangun, terdengarlah suara kicauan
burung-burung yang berkicau diantara pepohonan, bukan hanya itu saja, suara
sapi dan kambing tak kalah menyemarakkan indahnya suasana pagi hari di kampung
halamanku. Aku selalu dimanja ditengah-tengah keluarga Ayahku di Sumedang,
maklumlah, aku anak bungsu dan pada saat itu, aku masih duduk dikelas satu sd,
masih lucu-lucunya. Hampir setiap pagi, aku tidak pernah mau mandi, bukan
karena airnya dingin, akan tetapi aku selalu tidak sabaran untuk segera bermain
ke area pesawahan Cileles yang terdapat
banyak sekali balongnya (kolam ikan)
dan tentu saja pemandangan yang menarik. Sambil dituntun Ayahku menuju Cileles
bersama kakak-kakak ku, tidak ketinggalan juga kakekku Abah Eron ikut pergi
bersama kami sambil diikuti keenam anjing peliharaanya itu. Ya, kakekku memang
seorang penjelajah di hutan-hutan Sumedang, sepulang berjelajah biasanya ada
anjing liar ataupun babi hutan yang dibawanya pulang untuk sekedar dipelihara
dibelakang rumah. Tetapi hewan-hewan tersebut menjadi jinak setelah dipelihara
oleh kakekku. Sesampainya di Cileles, aku bersama Ayahku dan lainya biasanya
memancing ikan di kolam milik kakekku Abah Eron. Walau baru berusia 5 tahun
waktu itu, tetapi aku cukup mahir juga untuk memancing ikan, sampai-sampai,
hanya umpanku saja yang selalu diburu ikan-ikan dibanding dengan umpan
kakak-kakak ku. Selesai mancing ikan, kami membawa ikan-ikan hasil pancingan
kami ke rumah dan kami bakar bersama-sama. Terlihat bagaimana bahagianya
raut-raut wajah Ibuku, nenek, kakek, ayah dan keluargaku semua selama kami
membakar ikan bersama-sama. Tuhan, inikah yang disebut dengan kebahagiaan,
sungguh sederhana, sangat sederhana. Menjelang sore menuju malam, kami
beristirahat dengan harapan bisa menemukan hari esok dengan kebahagiaan yang
lainya.
Ternyata
benar saja, esoknya, saat aku bangun, Ayahku mengajak aku pergi ke lapangan RW
setempat, katanya ada “Pagelaran Adu Domba Garut”, mendengar itu, jelas saja
aku penasaran dan ingin segera melihat pertunjukan ketangkasan domba yang belum
pernah aku lihat sebelumnya. Ternyata benar, dilapangan RW setempat yang tak
jauh dari rumah kakek dan nenek ku, sudah banyak orang-orang berkumpul
mengelilingi lapangan untuk menyaksikan adu ketangkasan hewan bertanduk dua
itu. Senangnya aku pada saat itu, langsung saja aku tarik tangan Ayahku dan
mengajaknya untuk mengambil posisi paling depan agar dapat dengan jelas
menyaksikan pertunjukan itu. Bisa kudengar suara mandor pertunjukan yang
memimpin jalanya adu ketangkasan domba itu, berteriak dan terus memancing
euphoria penonton untuk menyemangati domba-domba yang sedang bertanding. Aku
lihat domba hitam dan domba putih dengan masing-masing tanduk yang besar dan
kuat saling beradu satu sama lain. Bukan main, selama pertandingan domba garut
itu, aku terus berteriak-teriak seolah-olah mendukung salah satu hewan yang
sedang ditandingkan itu. Pertandingan pun selesai, saatnya aku pulang ke rumah,
sepanjang jalan menuju rumah nenek, karena aku yang kelelahan, Ayah
menggendongku di punggungnya, masih bisa aku rasakan dekapan hangat tubuh Ayah
kala itu, sambil mengobrol tentang adu ketangkasan domba tadi, akupun asyik
memandangi satu persatu pohon dan rumah-rumah penduduk disekitar kampung
halaman tempat nenek dan kakek ku tinggal. Ya, betapa polosnya aku waktu itu,
aku masih berusia lima tahun, tetapi sudah duduk dibangku sd kelas satu,
seharusnya aku mengenyam bangku taman kanak-kanak terlebih dahulu, tapi apa
boleh buat, ibu dan ayah tidak punya cukup biaya, jadi dilangsungkan saja ke
sekolah dasar. Waktu tidak terasa sudah menjelang sore, saatnya aku untuk
mandi, berbicara tentang mandi, ada yang unik dikampung halamanku tentang
tradisi mandi. Karena kami memiliki area pesawahan yang juga terdapat
tempat-tempat mandi terbuat dari bambu dengan sumber mata air dari pegunungan,
biasanya setiap pagi dan sore hari, banyak sekali warga desa yang
berbondong-bondong mandi di pemandian umum yang letaknya ada di area pesawahan
Cileles. Ada yang bersama anaknya, sambil membawa cucian, ada juga yang dengan
sengaja membawa kambing peliharaanya untuk juga ikut dimandikan. Lucu sekali !
hahahaha, ya itulah suasana dikampung halamanku. Begitu juga dengan keluargaku,
menginjak waktu sore, aku dan keluarga ku pergi mandi ke Cileles, kebetulan
disana ada tempat mandi yang memiliki dua sumber mata air atau bisa disebut pancuran dalam bahasa sunda. Pancuran yang ada biasanya
dibuat dari pipa paralon atau bambu-bambu panjang. Segar sekali rasanya bisa
mandi dengan air yang langsung dari pegunungan. Walaupun jaraknya lumayan jauh,
tetapi karena sudah menjadi tradisi, jadi tidak menjadi beban untuk warga
desa mandi ke Cileles. Selain sambil
jalan-jalan, di Cileles, kita juga bisa merasakan ketenangan dengan banyaknya
pepohonan dan area pesawahan hijau, ditambah lagi gemericik air sungai-sungai
kecil yang menambah sejuknya kearifan lokal yang ada disana. Oh iya, selain
tempat mandi, ada juga tempat buang air besar yang diletakan diatas kolam ikan
/ balong milik warga desa, lucu sekali jadinya, begitu kotoran dikeluarkan,
ikan-ikan dikolam itu berebutan seperti berebut umpan, hahahahaa, kadang aku
selalu tertawa sendiri kalau aku mengingat yang satu ini. Mandi sore selesai,
kembali lagi menginjak waktu malam. Seperti biasa, disana ketika malam hari,
hanya ada suara-suara binatang malam dan jangkrik, jarang sekali terdengar
suara bising kendaraan maupun lalu lalang masyarakat sekitar. Berbeda dengan
diperkotaan, disini sehabis adzan isya jarang
sekali ada aktivitas masyarakat desa diluar rumah, mungkin ini yang dinamakan
kearifan lokal yang masih ada dikampung halamanku Sumedang, Desa Sukatali.
Waktu
terus berlalu, yang aku ingat, satu tahun kemudian setelah aku pulang kembali
ke Bandung, tepatnya pada tahun 2002, terdengar kabar yang sangat tidak
diharapkan oleh aku dan keluargaku di Bandung. Kami mendapat telepon dari
Sumedang bahwasanya, Abah Eron kakek ku meninggal. Bukan main, betapa sedihnya
Ayahku mendengar kabar itu, aku lihat mata ayah dan ibuku juga kakak-kakak ku
berlinangan air mata saat mendengar kabar tersebut yang didapat lewat telepon.
Waktu itu Ayahku baru pulang dari pekerjaanya dan lanngsung harus menerima
kabar duka, aku yang masih duduk di kelas dua sd masih belum terlalu mengerti
apa yang harus dilakukan saat itu. Aku hanya diam dan sesekali aku ikut
menangis ketika aku lihat semuanya menangis. Malam itu juga, Ayahku bergegas
menuju Sumedang untuk melayat Ayah nya, Abah Eron yang mana adalah kakekku
sendiri yang meninggal dan harus pergi untuk selama-lamanya. Bisa aku bayagkan
perasaan Ayah pada saat itu. Yang aku dengar, setelah kepergian kakek ku Abah
Eron, binatang-binatang peliharaanya yang almarhum bawa satu demi satu pergi
menghilang, entah kemana, mungkin mereka tahu bahwa tuanya sudah tidak ada lagi
disini. Anjing-anjing itu kembali kehabitat mereka di hutan. Keluarga nenek ku
di Sumedang menjadi sedikit sepi setelah ditinggal pergi kakek ku. Abah Eron
adalah sosok yang bisa memecah suasana sunyi menjadi riang. 7 hari kakek ku
berlalu, aku dan keluarga di Bandung memutuskan untuk berangkat kembali ke
Sumedang karena akan diadakanya syukuran tahlil tujuh hari kepergian kakek. Manusia
mati meninggalkan nama, juga kebaikan. Mungkin itu salah satu peribahasa yang
cocok yang aku buat sendiri untuk kakek ku. Aku ingat saat tahlil ke tujuh
kepergian kakek, banyak sekali jamaah yang datang. Sampai-sampai, untuk tahlil
saja harus menggunakan tiga rumah karena penuhnya jemaah yang datang sekedar
ikut mendoakan kakek ku Abah Eron. Hingga satu ekor sapi pun dijual oleh nenek
ku untuk membiayai biaya syukuran tahlil itu. Seusai tahlil dilaksanakan, aku
dan keluargaku kembali pamit ke Bandung. Aku harus sekolah, begitu juga
kakak-kakak ku yang kala itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama dan
atas. Life must go on ! Ya, kehidupan harus tetap berjalan, aku lihat setelah
kepergian kakek ku Abah Eron, Ayah sedikit murung, entah kenapa, tapi aku
yakin, itu karena Ayah ku sedih kehilangan sosok Ayah yang selama ini
membesarkanya. Aku mengerti perasaan Ayahku saat itu, ya, aku coba untuk
mengerti.
Tahun
2002 berlalu, aku sekarang sudah menginjak kelas 3 sd, ya, ini adalah tahun
2003. Kakak terbesarku, sudah lulus dari bangku SMA, Teh Ika sekarang bekerja
di salah satu pabrik garmen di Bandung. Sementara kakak laki-lakiku, Deni masih
bersekolah di SMP Yaqin, begitu juga dengan kakak ketiga ku yang perempuan,
Iin, dia masih duduk dibangku kelas 5 sd. Ya, saat itu adalah saat dimana biaya
kehidupan keluargaku sangatlah kritis. Ayahku yang hanya bekerja sebagai sopir
taksi dan sopir mobil rental perusahaan swasta harus menafkahi istri dan
keempat anaknya yang bersekolah. Bisa dibayangkan betapa kerasnya kerja keras
Ayahku waktu itu. Sempat aku berfikir untuk ikut bekerja, tetapi apa yang aku
bisa di usia ku yang baru delapan tahun dan baru duduk dibangku kelas 3 sd ?
Ada yang mengajak ku untuk meminta-minta dijalanan, tetapi Ibuku dengan keras
melarangku meakukan perbuatan itu, masih aku ingat ucapanya waktu itu “
walaupun kita kekurangan, kita tetap harus bersyukur dan berusaha, bukan
berarti meminta-minta”. Oleh karena
itulah, aku bersyukur, dan dengan bersyukur, rezeki selalu datang. Tidak
jarang, Ayahku yang pulang malam dari pekerjaannya selalu membawakan kami
sekeluarga Donkin Donnut, donat mahal yang ia peroleh dari pemberian bos nya.
Alhamdulilah, kadang setiap malam pukul sepuluh atau sebelas malam, saat aku
dan kakak-kakak ku sudah tidur, kami terbangun dan tentu saja langsung melahap
donat yang dibawa Ayah sepulang kerja. Senangnya pada saat itu.
Menginjak
bulan ramadhan 2003, Ayah dan Ibuku membangun warung kecil di depan jalan LMU
Suparmin, tepatnya di daerah kompleks TNI Angkatan Udara Husein Sastranegara.
Sedikit demi sedikit, isi warung tersebut dipenuhi oleh Ayahku dan Ibuku.
Mungkin strategi ini untuk mengurangi beban hidup keluarga yang hanya
mengandalkan dari penghasilan Ayah yang tidak seberapa. Warung keluargaku pun
alhamdulilah bisa dikatakan warung yang laris kala itu. Hampir seluruh warga di
lingkungan ku maupun di lingkungan kompleks TNI AU Husein semuanya menjadi
pelanggan setia warung keluargaku. Warung nya tidak terlalu besar dan juga
bukan grosir, hanya saja pada saat itu memang hanya warung Ibu ku saja yang
bisa dikatakan lengkap, jadi semua pembeli berdatangan. Tidak lama setelah itu,
hari raya idul fitri pun tiba. Hari dimana semua umat islam seharusnya
berbahagia dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Tetapi apa yang terjadi
dengan keluargaku ? Tepat pada hari Selasa tanggal 25 November 2003, seperti
biasanya pada pagi hari aku dan keluargaku merayakan Hari Raya Idul Fitri dan
berkeliling lingkungan rumah untuk bersalaman, setelah itu kami bersama-sama
pergi ke makam untuk menziarahi makam nenek dan kakek dari Ibuku. Sepulang dari
makam kami beristirahat. Tepat pukul lima sore, aku dan keluargaku berada
diwarung yang masih ditutup karena
memang masih situasi lebaran, tapi tiba-tiba Ayahku meringik dan
terduduk disamping pintu warung sambil memegang dada nya yang sebelah kanan dengan
kesakitan. Aku panik ! Ibuku pun juga begitu, Ayahku yang baru saja mandi dan
sudah rapi berpakaian tiba-tiba saja terduduk lemas memegang dada nya yang
sebelah kanan dan terus meringik kesakitan, sontak Ibuku menangis dan berteriak
meminta tolong kepada tetangga-tetangga yang ada. Berdatanganlah tetangga-tetanggaku dan masuk
kedalam warung menghampiri Ayahku yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang
ada didadanya itu. Aku bingung, Ibuku dan kakak-kakak ku menangis melihat
Ayahku yang dikelelilingi banyak orang dan dibimbing agar tidak kesakitan.
Melihat Ibuku yang semakin menangis sambil menyebut-nyebut Ayahku, akupun ikut
terharu dan menangis, menangis sebesar-besarnya. Karena situasi dan luas
warungku yang kecil, maka tetangga-tetangga ku memutuskan untuk membawa Ayahku
kerumah ku yang tidak jauh letaknya dari warungku. Diangkatlah Ayahku yang
masih terus berteriak kesakitan menuju rumahku. Tiba disana, beberapa tetangga
dan orang-orang yang berada dirumahku ikut menangis melihat situasi ini. Aku
lihat Ibuku sudah sangat khawatir dan hampir pingsan, Ayahku memanggil nama
anggota keluarganya satu demi satu, akupun menghampiri Ayahku, begitu juga
dengan Ibuku dan kakak-kakak ku. Bisa kulihat Ayahku yang terus-terusan
memanggil namaku, Ibuku dan kakak-kakak ku sambil terus-terusan membaca
syahadat dan kalimat-kalimat suci yang juga dibimbing oleh seorang tetanggaku.
Ah, aku tahu, aku tahu bahwa itu adalah saat-saat sakaratul maut, aku baru tahu
sekarang. Tidak henti-hentinya kalimat-kalimat suci itu diucapkan Ayahku, Ibuku
jatuh pingsan, kakak perempuanku jatuh pingsan, aku terus menangis dan
berteriak seolah-olah tidak ingin Ayahku pergi, pergi untuk selamanya. Beberapa
saudara-saudara ku sibuk menelepon dokter, beberapa warga yang menyaksikan ikut
menangis, sungguh sangat mencekam disore itu. Masih bisa aku ingat suara-suara
kesedihan, termasuk suaraku sendiri yang menangis melihat Ayahku yang sudah
tidak berdaya lagi. Sambil dibimbing mengucapkan kalimat syahadat oleh
tetanggaku yang berada tepat disamping Ayahku, tiba-tiba terdengarlah suara
adzan maghrib, dan pada saat itu pula, pada saat takbir kedua adzan maghrib,
Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya. Berat sekali rasanya, teriakanku habis,
airmataku ini sudah tidak terbendung lagi, Ibuku histeris dan jatuh pingsan
sambil terus-menerus meneriakan suara takbir dan istighfar. Terdengar pula
olehku suara beberapa tetanggaku dan kakaku yang laki-laki, Deni mengaji untuk
mendoakan Ayahku. Dan ketika diperiksa, ternyata benarlah sudah, Ayahku sudah
pergi. Lemas sekali rasanya, sakit, lebih dari sakit. Ada perasaan belum
percaya, tetapi apa yang harus disembunyikan? Ini yang sebenarnya sedang
terjadi menimpa keluargaku. Suara tangisan Ibuku, aku dan orang-orang yang juga
ada dirumahku membuat aku semakin sedih. Entah bagaimana perasaan Ibuku, secara
tiba-tiba harus kehilangan sosok yang menjadi kekuatan dalam hidupnya untuk
membesarkan keempat anak-anaknya ini.
Betapa
mahalnya waktu itu, sama sekali aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan
ditinggal pergi Ayahku sendiri. Bahkan dalam situasi seperti ini, siapa yang
mau ? Siapa ? Tidak ada ! Seperginya Ayahku menuju tempat yang sesungguhnya,
ucapan duka berdatangan dari sanak saudara, kerabat dan juga rekan kerja
Ayahku. Sama sekali mereka semua tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini.
Ya memang, karena Ayahku tidak mengidap penyakit kronis ataupun penyakit
lainya. Tapi aku sadari, ini bukan masalah penyakit, ini masalah takdir Allah,
pemilik dari segala sesuatu dimuka bumi ini. Dan sekarang, aku sudah beranjak
hampir menuju kedewasaan, usiaku sudah 18 tahun. Aku berjanji, akan menjaga
Ibuku, dan kakak-kakak ku, aku berjanji akan menjadi kebanggaan untuk
keluargaku nanti. Setelah menulis cerita ini, aku berjanji untuk tidak iri lagi
kepada mereka yang Ayah nya masih ada, aku akan selalu mendoakan agar Ayah dan
Ibu kita yang masih ada selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, hingga nanti,
dibatas waktu nanti, mereka bisa melihat kita sukses. Amiin. Terimakasih sudah
membaca cerita ini, sebenarnya masih panjang yang ingin aku ceritakan, tetapi
rasanya cukup sampai disini saja. Jika aku ingat Ayahku, aku selalu ingat akan
Kampung Halamanku, terlalu banyak kenangan indah yang masih bisa aku ingat sampai detik ini.
![]() |
Diki Irdan and Family |
Cerpen ini sedang dilombakan di http://hut1.xpressijurnal.com/detail.php?lomba=1&id=92
Semoga bisa menginspirasi :)
Semoga bisa menginspirasi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar