Minggu, 23 Februari 2014

Sewaktu Ayahku Masih Ada -Kampung Halaman-


Sewaktu  Ayah  Masih Ada
“ Kampung Halaman “

Namaku Diki Ramdani, tapi lebih sering dikenal Diki Irdan, nama siaran ku disebuah program radio yang dulu pernah aku pegang sewaktu kelas 2 SMK. Aku anak keempat dari empat bersaudara. Ibuku bernama Iis Iskandar, seorang ibu rumah tangga yang sampai saat ini masih sangat semangat berjuang memperjuangkan pendidikan anaknya hingga bangku kuliah tanpa ditemani kehadiran seorang suami. Ya, Ayahku sudah meninggal sejak lama, sudah sepuluh tahun aku, ibu dan kakak-kakak ku hidup tanpa seorang Ayah.  Saat ini aku berkuliah di Politeknik LP3I Bandung dengan jurusan Public Relations atau yang lebih sering dikenal Hubungan Masyarakat dan tepatnya, senin tanggal 17 Februari 2014 nanti aku mulai menginjak semester keempat. Rasanya rasa syukur ini tidak pernah bisa aku hentikan. Bagaimana bisa ibuku mengkuliahkan ku tanpa bantuan sosok dermawan, beliau adalah Ibu Iman, majikan ibuku yang tinggal di kompleks TNI AU Lanud Husein Sastranegara Bandung.
Banyak orang yang bilang, jangan terlalu sering mengingat masa lalu, lihatlah kearah depan ! Ah, aku tidak peduli dengan itu, yang aku tahu, aku juga punya Ayah seperti kalian, bedanya hanya satu, Ayahku sudah pergi, pergi dan tidak mungkin kembali. Tapi apa salahnya jika aku ingin mengenang sosok Ayah yang pernah sebentar saja hadir dikehidupanku. Nama Almarhum Ayahku adalah Didin Shafrudin, almarhum lahir di Kota Sumedang, sementara ibuku sendiri asli orang Bandung. Sedikit yang bisa kuingat, sebagai kepala keluarga, dulu Ayahku bekerja hanya sebagai sopir taksi, dan juga sopir pribadi untuk sebuah rental mobil dikawasan Jl. Kepatihan Bandung. Walaupun bukan mobil miliknya, tetapi Ayah selalu menyempatkan waktu luangnya untuk sekedar mengajak ku dan keluarga jalan-jalan menggunakan mobil milik bos. Sering sekali dulu, sewaktu aku masih duduk di bangku sd aku diajaknya makan ke beberapa tempat di Kota Bandung. Tetapi bukan itu yang paling berkesan melainkan kunjungan kami sekeluarga ke kampung halaman Ayahku di Desa Sukatali, Kota Sumedang. Jujur, dari kecil aku adalah tipikal anak yang sangat menyukai pemandangan disetiap perjalanan. Semuanya hijau, penuh dengan bukit dan pepohonan. Bisa aku ingat saat kami sekeluarga berangkat dari Bandung menuju Sumedang menggunakan mobil milik bos Ayahku. Rasanya bahagia sekali saat itu. Sepanjang perjalanan, aku selalu banyak bertanya pada Ibuku tentang apa saja yang aku lihat diperjalanan. Ibuku tidak pernah lelah untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang aku lontarkan sekalipun itu menjengkelkan. Sesekali Ayahku yang sedang mengemudi membantu Ibuku menjawab pertanyaan yang ditanyakan olehku. Betapa indahnya suasana itu, bahkan aku masih bisa mengingat senyuman-senyuman yang ada diwajah ibu, ayah dan kakak-kakak ku kala itu.
Sesampainya di Sumedang, kami disambut riang oeh keluarga disana, ada nenekku yang bernama Nana, sering kupanggil beliau dengan sebutan Ma’ Nana,  sementara kakeku bernama Eron, aku selalu panggil almarhum dengan sebutan Abah Eron, ada juga Paman Dana dan Bibi Acah, ada juga Ibu Iyok yang masih saudaraku juga, lucunya, Ibu Iyok badanya sangat gemuk dan suka bercanda dengan celotehanya yang selalu membuat kami semua tertawa. Rumah keluarga ayahku di Sumedang tidaklah mewah, cukup sederhana dan bisa menampung kami keluarga besar untuk berkumpul bersama. Menjelang pagi, suasana kampung halamanku tentu sangat jauh berbeda dengan suasana rumahku di Bandung. Begitu bangun, terdengarlah suara kicauan burung-burung yang berkicau diantara pepohonan, bukan hanya itu saja, suara sapi dan kambing tak kalah menyemarakkan indahnya suasana pagi hari di kampung halamanku. Aku selalu dimanja ditengah-tengah keluarga Ayahku di Sumedang, maklumlah, aku anak bungsu dan pada saat itu, aku masih duduk dikelas satu sd, masih lucu-lucunya. Hampir setiap pagi, aku tidak pernah mau mandi, bukan karena airnya dingin, akan tetapi aku selalu tidak sabaran untuk segera bermain ke area pesawahan Cileles  yang terdapat banyak sekali balongnya (kolam ikan) dan tentu saja pemandangan yang menarik. Sambil dituntun Ayahku menuju Cileles bersama kakak-kakak ku, tidak ketinggalan juga kakekku Abah Eron ikut pergi bersama kami sambil diikuti keenam anjing peliharaanya itu. Ya, kakekku memang seorang penjelajah di hutan-hutan Sumedang, sepulang berjelajah biasanya ada anjing liar ataupun babi hutan yang dibawanya pulang untuk sekedar dipelihara dibelakang rumah. Tetapi hewan-hewan tersebut menjadi jinak setelah dipelihara oleh kakekku. Sesampainya di Cileles, aku bersama Ayahku dan lainya biasanya memancing ikan di kolam milik kakekku Abah Eron. Walau baru berusia 5 tahun waktu itu, tetapi aku cukup mahir juga untuk memancing ikan, sampai-sampai, hanya umpanku saja yang selalu diburu ikan-ikan dibanding dengan umpan kakak-kakak ku. Selesai mancing ikan, kami membawa ikan-ikan hasil pancingan kami ke rumah dan kami bakar bersama-sama. Terlihat bagaimana bahagianya raut-raut wajah Ibuku, nenek, kakek, ayah dan keluargaku semua selama kami membakar ikan bersama-sama. Tuhan, inikah yang disebut dengan kebahagiaan, sungguh sederhana, sangat sederhana. Menjelang sore menuju malam, kami beristirahat dengan harapan bisa menemukan hari esok dengan kebahagiaan yang lainya.
Ternyata benar saja, esoknya, saat aku bangun, Ayahku mengajak aku pergi ke lapangan RW setempat, katanya ada “Pagelaran Adu Domba Garut”, mendengar itu, jelas saja aku penasaran dan ingin segera melihat pertunjukan ketangkasan domba yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ternyata benar, dilapangan RW setempat yang tak jauh dari rumah kakek dan nenek ku, sudah banyak orang-orang berkumpul mengelilingi lapangan untuk menyaksikan adu ketangkasan hewan bertanduk dua itu. Senangnya aku pada saat itu, langsung saja aku tarik tangan Ayahku dan mengajaknya untuk mengambil posisi paling depan agar dapat dengan jelas menyaksikan pertunjukan itu. Bisa kudengar suara mandor pertunjukan yang memimpin jalanya adu ketangkasan domba itu, berteriak dan terus memancing euphoria penonton untuk menyemangati domba-domba yang sedang bertanding. Aku lihat domba hitam dan domba putih dengan masing-masing tanduk yang besar dan kuat saling beradu satu sama lain. Bukan main, selama pertandingan domba garut itu, aku terus berteriak-teriak seolah-olah mendukung salah satu hewan yang sedang ditandingkan itu. Pertandingan pun selesai, saatnya aku pulang ke rumah, sepanjang jalan menuju rumah nenek, karena aku yang kelelahan, Ayah menggendongku di punggungnya, masih bisa aku rasakan dekapan hangat tubuh Ayah kala itu, sambil mengobrol tentang adu ketangkasan domba tadi, akupun asyik memandangi satu persatu pohon dan rumah-rumah penduduk disekitar kampung halaman tempat nenek dan kakek ku tinggal. Ya, betapa polosnya aku waktu itu, aku masih berusia lima tahun, tetapi sudah duduk dibangku sd kelas satu, seharusnya aku mengenyam bangku taman kanak-kanak terlebih dahulu, tapi apa boleh buat, ibu dan ayah tidak punya cukup biaya, jadi dilangsungkan saja ke sekolah dasar. Waktu tidak terasa sudah menjelang sore, saatnya aku untuk mandi, berbicara tentang mandi, ada yang unik dikampung halamanku tentang tradisi mandi. Karena kami memiliki area pesawahan yang juga terdapat tempat-tempat mandi terbuat dari bambu dengan sumber mata air dari pegunungan, biasanya setiap pagi dan sore hari, banyak sekali warga desa yang berbondong-bondong mandi di pemandian umum yang letaknya ada di area pesawahan Cileles. Ada yang bersama anaknya, sambil membawa cucian, ada juga yang dengan sengaja membawa kambing peliharaanya untuk juga ikut dimandikan. Lucu sekali ! hahahaha, ya itulah suasana dikampung halamanku. Begitu juga dengan keluargaku, menginjak waktu sore, aku dan keluarga ku pergi mandi ke Cileles, kebetulan disana ada tempat mandi yang memiliki dua sumber mata air atau bisa disebut  pancuran  dalam bahasa sunda. Pancuran yang ada biasanya dibuat dari pipa paralon atau bambu-bambu panjang. Segar sekali rasanya bisa mandi dengan air yang langsung dari pegunungan. Walaupun jaraknya lumayan jauh, tetapi karena sudah menjadi tradisi, jadi tidak menjadi beban untuk warga desa  mandi ke Cileles. Selain sambil jalan-jalan, di Cileles, kita juga bisa merasakan ketenangan dengan banyaknya pepohonan dan area pesawahan hijau, ditambah lagi gemericik air sungai-sungai kecil yang menambah sejuknya kearifan lokal yang ada disana. Oh iya, selain tempat mandi, ada juga tempat buang air besar yang diletakan diatas kolam ikan / balong milik warga desa, lucu sekali jadinya, begitu kotoran dikeluarkan, ikan-ikan dikolam itu berebutan seperti berebut umpan, hahahahaa, kadang aku selalu tertawa sendiri kalau aku mengingat yang satu ini. Mandi sore selesai, kembali lagi menginjak waktu malam. Seperti biasa, disana ketika malam hari, hanya ada suara-suara binatang malam dan jangkrik, jarang sekali terdengar suara bising kendaraan maupun lalu lalang masyarakat sekitar. Berbeda dengan diperkotaan, disini  sehabis adzan isya jarang sekali ada aktivitas masyarakat desa diluar rumah, mungkin ini yang dinamakan kearifan lokal yang masih ada dikampung halamanku Sumedang, Desa Sukatali.  
Waktu terus berlalu, yang aku ingat, satu tahun kemudian setelah aku pulang kembali ke Bandung, tepatnya pada tahun 2002, terdengar kabar yang sangat tidak diharapkan oleh aku dan keluargaku di Bandung. Kami mendapat telepon dari Sumedang bahwasanya, Abah Eron kakek ku meninggal. Bukan main, betapa sedihnya Ayahku mendengar kabar itu, aku lihat mata ayah dan ibuku juga kakak-kakak ku berlinangan air mata saat mendengar kabar tersebut yang didapat lewat telepon. Waktu itu Ayahku baru pulang dari pekerjaanya dan lanngsung harus menerima kabar duka, aku yang masih duduk di kelas dua sd masih belum terlalu mengerti apa yang harus dilakukan saat itu. Aku hanya diam dan sesekali aku ikut menangis ketika aku lihat semuanya menangis. Malam itu juga, Ayahku bergegas menuju Sumedang untuk melayat Ayah nya, Abah Eron yang mana adalah kakekku sendiri yang meninggal dan harus pergi untuk selama-lamanya. Bisa aku bayagkan perasaan Ayah pada saat itu. Yang aku dengar, setelah kepergian kakek ku Abah Eron, binatang-binatang peliharaanya yang almarhum bawa satu demi satu pergi menghilang, entah kemana, mungkin mereka tahu bahwa tuanya sudah tidak ada lagi disini. Anjing-anjing itu kembali kehabitat mereka di hutan. Keluarga nenek ku di Sumedang menjadi sedikit sepi setelah ditinggal pergi kakek ku. Abah Eron adalah sosok yang bisa memecah suasana sunyi menjadi riang. 7 hari kakek ku berlalu, aku dan keluarga di Bandung memutuskan untuk berangkat kembali ke Sumedang karena akan diadakanya syukuran tahlil tujuh hari kepergian kakek. Manusia mati meninggalkan nama, juga kebaikan. Mungkin itu salah satu peribahasa yang cocok yang aku buat sendiri untuk kakek ku. Aku ingat saat tahlil ke tujuh kepergian kakek, banyak sekali jamaah yang datang. Sampai-sampai, untuk tahlil saja harus menggunakan tiga rumah karena penuhnya jemaah yang datang sekedar ikut mendoakan kakek ku Abah Eron. Hingga satu ekor sapi pun dijual oleh nenek ku untuk membiayai biaya syukuran tahlil itu. Seusai tahlil dilaksanakan, aku dan keluargaku kembali pamit ke Bandung. Aku harus sekolah, begitu juga kakak-kakak ku yang kala itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama dan atas. Life must go on ! Ya, kehidupan harus tetap berjalan, aku lihat setelah kepergian kakek ku Abah Eron, Ayah sedikit murung, entah kenapa, tapi aku yakin, itu karena Ayah ku sedih kehilangan sosok Ayah yang selama ini membesarkanya. Aku mengerti perasaan Ayahku saat itu, ya, aku coba untuk mengerti.

Tahun 2002 berlalu, aku sekarang sudah menginjak kelas 3 sd, ya, ini adalah tahun 2003. Kakak terbesarku, sudah lulus dari bangku SMA, Teh Ika sekarang bekerja di salah satu pabrik garmen di Bandung. Sementara kakak laki-lakiku, Deni masih bersekolah di SMP Yaqin, begitu juga dengan kakak ketiga ku yang perempuan, Iin, dia masih duduk dibangku kelas 5 sd. Ya, saat itu adalah saat dimana biaya kehidupan keluargaku sangatlah kritis. Ayahku yang hanya bekerja sebagai sopir taksi dan sopir mobil rental perusahaan swasta harus menafkahi istri dan keempat anaknya yang bersekolah. Bisa dibayangkan betapa kerasnya kerja keras Ayahku waktu itu. Sempat aku berfikir untuk ikut bekerja, tetapi apa yang aku bisa di usia ku yang baru delapan tahun dan baru duduk dibangku kelas 3 sd ? Ada yang mengajak ku untuk meminta-minta dijalanan, tetapi Ibuku dengan keras melarangku meakukan perbuatan itu, masih aku ingat ucapanya waktu itu “ walaupun kita kekurangan, kita tetap harus bersyukur dan berusaha, bukan berarti meminta-minta”.  Oleh karena itulah, aku bersyukur, dan dengan bersyukur, rezeki selalu datang. Tidak jarang, Ayahku yang pulang malam dari pekerjaannya selalu membawakan kami sekeluarga Donkin Donnut, donat mahal yang ia peroleh dari pemberian bos nya. Alhamdulilah, kadang setiap malam pukul sepuluh atau sebelas malam, saat aku dan kakak-kakak ku sudah tidur, kami terbangun dan tentu saja langsung melahap donat yang dibawa Ayah sepulang kerja. Senangnya pada saat itu.
Menginjak bulan ramadhan 2003, Ayah dan Ibuku membangun warung kecil di depan jalan LMU Suparmin, tepatnya di daerah kompleks TNI Angkatan Udara Husein Sastranegara. Sedikit demi sedikit, isi warung tersebut dipenuhi oleh Ayahku dan Ibuku. Mungkin strategi ini untuk mengurangi beban hidup keluarga yang hanya mengandalkan dari penghasilan Ayah yang tidak seberapa. Warung keluargaku pun alhamdulilah bisa dikatakan warung yang laris kala itu. Hampir seluruh warga di lingkungan ku maupun di lingkungan kompleks TNI AU Husein semuanya menjadi pelanggan setia warung keluargaku. Warung nya tidak terlalu besar dan juga bukan grosir, hanya saja pada saat itu memang hanya warung Ibu ku saja yang bisa dikatakan lengkap, jadi semua pembeli berdatangan. Tidak lama setelah itu, hari raya idul fitri pun tiba. Hari dimana semua umat islam seharusnya berbahagia dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Tetapi apa yang terjadi dengan keluargaku ? Tepat pada hari Selasa tanggal 25 November 2003, seperti biasanya pada pagi hari aku dan keluargaku merayakan Hari Raya Idul Fitri dan berkeliling lingkungan rumah untuk bersalaman, setelah itu kami bersama-sama pergi ke makam untuk menziarahi makam nenek dan kakek dari Ibuku. Sepulang dari makam kami beristirahat. Tepat pukul lima sore, aku dan keluargaku berada diwarung yang masih ditutup karena  memang masih situasi lebaran, tapi tiba-tiba Ayahku meringik dan terduduk disamping pintu warung sambil memegang dada nya yang sebelah kanan dengan kesakitan. Aku panik ! Ibuku pun juga begitu, Ayahku yang baru saja mandi dan sudah rapi berpakaian tiba-tiba saja terduduk lemas memegang dada nya yang sebelah kanan dan terus meringik kesakitan, sontak Ibuku menangis dan berteriak meminta tolong kepada tetangga-tetangga yang ada.  Berdatanganlah tetangga-tetanggaku dan masuk kedalam warung menghampiri Ayahku yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang ada didadanya itu. Aku bingung, Ibuku dan kakak-kakak ku menangis melihat Ayahku yang dikelelilingi banyak orang dan dibimbing agar tidak kesakitan. Melihat Ibuku yang semakin menangis sambil menyebut-nyebut Ayahku, akupun ikut terharu dan menangis, menangis sebesar-besarnya. Karena situasi dan luas warungku yang kecil, maka tetangga-tetangga ku memutuskan untuk membawa Ayahku kerumah ku yang tidak jauh letaknya dari warungku. Diangkatlah Ayahku yang masih terus berteriak kesakitan menuju rumahku. Tiba disana, beberapa tetangga dan orang-orang yang berada dirumahku ikut menangis melihat situasi ini. Aku lihat Ibuku sudah sangat khawatir dan hampir pingsan, Ayahku memanggil nama anggota keluarganya satu demi satu, akupun menghampiri Ayahku, begitu juga dengan Ibuku dan kakak-kakak ku. Bisa kulihat Ayahku yang terus-terusan memanggil namaku, Ibuku dan kakak-kakak ku sambil terus-terusan membaca syahadat dan kalimat-kalimat suci yang juga dibimbing oleh seorang tetanggaku. Ah, aku tahu, aku tahu bahwa itu adalah saat-saat sakaratul maut, aku baru tahu sekarang. Tidak henti-hentinya kalimat-kalimat suci itu diucapkan Ayahku, Ibuku jatuh pingsan, kakak perempuanku jatuh pingsan, aku terus menangis dan berteriak seolah-olah tidak ingin Ayahku pergi, pergi untuk selamanya. Beberapa saudara-saudara ku sibuk menelepon dokter, beberapa warga yang menyaksikan ikut menangis, sungguh sangat mencekam disore itu. Masih bisa aku ingat suara-suara kesedihan, termasuk suaraku sendiri yang menangis melihat Ayahku yang sudah tidak berdaya lagi. Sambil dibimbing mengucapkan kalimat syahadat oleh tetanggaku yang berada tepat disamping Ayahku, tiba-tiba terdengarlah suara adzan maghrib, dan pada saat itu pula, pada saat takbir kedua adzan maghrib, Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya. Berat sekali rasanya, teriakanku habis, airmataku ini sudah tidak terbendung lagi, Ibuku histeris dan jatuh pingsan sambil terus-menerus meneriakan suara takbir dan istighfar. Terdengar pula olehku suara beberapa tetanggaku dan kakaku yang laki-laki, Deni mengaji untuk mendoakan Ayahku. Dan ketika diperiksa, ternyata benarlah sudah, Ayahku sudah pergi. Lemas sekali rasanya, sakit, lebih dari sakit. Ada perasaan belum percaya, tetapi apa yang harus disembunyikan? Ini yang sebenarnya sedang terjadi menimpa keluargaku. Suara tangisan Ibuku, aku dan orang-orang yang juga ada dirumahku membuat aku semakin sedih. Entah bagaimana perasaan Ibuku, secara tiba-tiba harus kehilangan sosok yang menjadi kekuatan dalam hidupnya untuk membesarkan keempat anak-anaknya ini.
Betapa mahalnya waktu itu, sama sekali aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan ditinggal pergi Ayahku sendiri. Bahkan dalam situasi seperti ini, siapa yang mau ? Siapa ? Tidak ada ! Seperginya Ayahku menuju tempat yang sesungguhnya, ucapan duka berdatangan dari sanak saudara, kerabat dan juga rekan kerja Ayahku. Sama sekali mereka semua tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Ya memang, karena Ayahku tidak mengidap penyakit kronis ataupun penyakit lainya. Tapi aku sadari, ini bukan masalah penyakit, ini masalah takdir Allah, pemilik dari segala sesuatu dimuka bumi ini. Dan sekarang, aku sudah beranjak hampir menuju kedewasaan, usiaku sudah 18 tahun. Aku berjanji, akan menjaga Ibuku, dan kakak-kakak ku, aku berjanji akan menjadi kebanggaan untuk keluargaku nanti. Setelah menulis cerita ini, aku berjanji untuk tidak iri lagi kepada mereka yang Ayah nya masih ada, aku akan selalu mendoakan agar Ayah dan Ibu kita yang masih ada selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, hingga nanti, dibatas waktu nanti, mereka bisa melihat kita sukses. Amiin. Terimakasih sudah membaca cerita ini, sebenarnya masih panjang yang ingin aku ceritakan, tetapi rasanya cukup sampai disini saja. Jika aku ingat Ayahku, aku selalu ingat akan Kampung Halamanku, terlalu banyak kenangan indah yang masih bisa  aku ingat sampai detik ini. 

Diki Irdan and Family
Cerpen ini sedang dilombakan di http://hut1.xpressijurnal.com/detail.php?lomba=1&id=92
Semoga bisa menginspirasi :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar